fajarbengkulu.com, Lebong – Ruang isolasi merupakan ruangan yang didesain khusus untuk menangani pasien dengan penyakit infeksi agar terpisah dari pasien lain. Tujuan adanya ruang isolasi di rumah sakit adalah untuk mengendalikan penyebaran penyakit menular yang bisa mewabah.
Mengingat ruangan isolasi di rumah sakit adalah ruangan khusus, orang-orang yang bisa masuk ke ruangan ini juga sangat terbatas. Prosedur masuknya pun tidak sembarangan dan harus ditaati oleh perawat, dokter, petugas rumah sakit, maupun anggota keluarga pasien.
Dikutip dari gobengkulu, Ada hal aneh yang diceritakan oleh salah satu keluarga pasien, RR, pada Jumat (4/6) malam, ibunya mengeluh sakit perut dan berulang-ulang buang air besar disertai muntah-muntah. Keadaan demikian itu rupanya membuat ibunya kehabisan cairan tubuh sehingga kondisinya lemas. Khawatir melihat kondisi ibunya, pada Sabtu (5/6) pagi, RR berinisiatif membawa ibunya ke RSUD Lebong dengan harapan mendapat penanganan medis sesuai dengan keluhan yang diderita ibunya.
Setibanya di RS, ibunya langsung dibawa ke gedung IGD untuk mendapat penanganan medis. Pada saat itu ibunya ditangani oleh beberapa perawat dan dokter yang piket pada waktu itu. Setelah lama menunggu, RR didatangi oleh seorang perawat dan menanyakan, apakah ibunya bersedia untuk dirawat inap? RR spontan menjawab, “iya bersedia”. Lalu perawat tersebut memintanya untuk menunggu karena dirinya (Perawat, red) akan mempersiapkan segala sesuatunya. Mendengar perkataan dari perawat tersebut, RR bersama keluarga yang lain bersiap-siap untuk membawa ibunya ke ruang rawat inap.
“Hampir 1 jam kami menunggu, tapi perawat yang menyampaikan akan memindahkan ibu ke ruang rawat inap tak kunjung datang. Sekitar 1 jam menunggu, perawat tu datang dan menyampaikan bahwa ibu saya harus dirawat di ruang isolasi Covid-19 karena hasil rapid testnya positif, tentu saja kami sekeluarga kaget karena setahu kami ibu keluhannya hanya muntaber bukan Covid-19,” ujar RR.
Sempat terjadi perdebatan antara keluarga pasien dan perawat yang berjaga saat itu. Bahkan diakui RR dirinya sempat mendapat perkataan yang kurang mengenakan dari salah satu perawat yang berjaga. Perawat tersebut dengan ketus menyampaikan, jika tidak bersedia untuk dirawat di ruang isolasi pasien harap dibawa pulang saja.
“Dia maksa kami agar menyetujui ibu saya untuk dirawat di ruang isolasi. Katanya, kalau tidak bersedia dirawat di ruang isolasi ibu disuruh bawa pulang saja,” tambahnya.
Karena khawatir dengan kondisi ibunya yang semakin lemas, RR dan keluarga yang lain sepakat untuk menuruti anjuran dari pihak rumah sakit agar ibunya dirawat di ruang isolasi. Saat di ruang isolasi dia mengaku ibunya langsung diswab antigen. Tidak lama menunggu, hasil swab antigen pun keluar dan hasilnya ternyata negatif. Rasa cemas keluarga pasien mulai berkurang dan berharap akan dipindahkan dari ruang isolasi ke ruang rawat inap. Tapi sayang, hasil negatif dari swab antigen pasien tidak mengubah kebijakan pihak RS. Pihak RS masih bersikeras tidak memperbolehkan pasien untuk pindah ruangan dengan dalih masih ragu dengan hasil swab antigen yang menyatakan negatif tersebut dan meminta pasien bersabar hingga hasil PCR keluar.
“Katanya dr. Anggi yang melarang ibu saya pindah. Saat itu kami berusaha menemui dr Anggi untuk mempertanyakan hal tersebut tapi, dr. Anggi nya tidak tahu di mana,” bebernya.
3 hari 2 malam pasien tersebut diisolasi, dan diperlakukan layaknya seperti pasien Covid-19 di ruangan yang belum selayaknya dijadikan sebagai ruang isolasi tersebut. Dengan perasaan penuh kecewa keluarga pasien menjalani hari-hari yang mencekam dan seakan dikucilkan. Hingga akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk membawa ibunya pulang dan dirawat di rumah.
“Hari Senin kemarin dr. Anggi datang melihat keadaan ibu, dia menanyakan, “ibu mau pulang?” langsung saja ibu saya menjawab “iya” walaupun kondisi ibu saat itu masih lemas,” ungkap RR dengan nada dan raut wajah menaruh rasa kecewa mendalam terhadap perlakuan pihak RS.
Sementara itu, pihak manajemen RS saat dikonfirmasi terkait hal itu, berdalih, demikian itu semata-mata untuk kewaspadaan terhadap penyebaran Covid-19. Pihaknya masih ragu dengan kondisi pasien pada saat itu, karena berdasarkan hasil rapid test menunjukkan hasil positif sementara, swab antigennya negatif. Sehingga pihaknya memilih waspada dan memilih untuk melakukan test PCR guna memastikan keadaan pasien yang sebenarnya.
“Kami tidak mau kecolongan lagi, dulu pernah pasien kami swab antigennya negatif, tapi di saat kami pindahkan ke ruangan rawat inap ternyata hasil PCR nya positif, hanya untuk jaga-jaga saja,” katanya.
Data terhimpun, rupanya bukan hanya satu pasien yang diperlakukan seperti itu, di waktu bersamaan ada pula pasien tifuz (Tipes) yang dipindahkan dari ruang VIP ke ruang isolasi tersebut. Bahkan kabarnya tidak lama ini ada juga pasien yang melarikan diri dari ruang tersebut lantaran merasa dirinya tidak terpapar Covid-19.
Herannya, sepanjang tahun 2021 tercatat lebih dari 70 orang warga Lebong yang dinyatakan positif, tapi tidak satu pun dari mereka yang dirawat di ruang isolasi RSUD, malah mereka disuruh isolasi mandiri di rumah dan kabarnya mereka sembuh dengan sendirinya. Demikian itu membuat masyarakat bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi di balik bencana Covid-19 ini. (**)