fajarbengkulu, Mancanegara – Warga Negara Indonesia (WNI) di Finlandia menceritakan, di negara paling bahagia sedunia itu hampir tidak ada copet, begal, atau rampok, sehingga keamanannya terjamin.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Finlandia baru saja dinobatkan sebagai negara paling bahagia di dunia selama empat tahun beruntun oleh World Happiness Report.
“Kami merasa nyaman dan aman di sini. Tidak takut ada copet, begal, atau rampok. Bahkan bahaya di jalan pun hampir tidak ada,” kata Evita Wishnuwardani Haapavaara (55) kepada Kompas.com, Jumat (26/3/2021).
“Kami merasa aman jalan-jalan gelap malam dekat hutan. Bahaya kejahatan narkoba juga sangat minim, atau dikatakan hampir tidak ada,” lanjutnya
Selain itu, faktor lain yang membuat Evita kerasan sampai 26 tahun lamanya di Finlandia adalah transportasi umum yang sangat bagus, bahkan sampai tidak ada kurir online.
“Belum ada jasa seperti itu (kurir online) di sini, karena mungkin bagusnya sistem public transportation jadi ke mana-mana mudah, tidak perlu bermacet-macet.”
Evita yang asal Jakarta dan kini bersuami pria Finlandia melanjutkan, infrastruktur umum di negara itu sangat menunjang kenyamanan dan keamanan.
“Contohnya Helsinki Smart City, fasilitas-fasilitas pendidikan lain seperti perpustakaan gratis, kursus-kursus pelatihan yang gratis, kursus bahasa gratis, dll,” ungkap wanita yang sekarang berdomisili di Espoo ini.
Namun, bagusnya fasilitas transportasi umum bukan berarti masyarakat boleh sewenang-wenang memanfaatkannya.
Ajimufti Azhari (30) WNI yang sudah menetap di Finlandia selama 8 tahun menerangkan, sopir bus tidak segan meninggalkan penumpangnya yang telat datang.
“Sopir bus di sini pun liat kita lari menuju bus stop, kalau jauh ya bakal ditinggal hehe,” ujar pria asal Bogor ini kepada Kompas.com via pesan teks, Sabtu (27/3/2021).
Aji tinggal di Finlandia sejak kuliah, dan sekarang ia bekerja sebagai Innovation Manager di salah satu perusahaan energi terbarukan di sana.
Pajak Rakyat Berbuah Fasilitas
Finlandia membangun fasilitas publik jempolan ini dari uang pajak yang dibayar rutin rakyatnya.
Meski pajak di Finlandia terkenal sebagai salah satu yang tertinggi di Eropa, tetapi sepadan dengan fasilitas umum yang diperoleh warganya.
“Untuk meraih kemakmuran itu semua, kita masyarakat harus mau berusaha bekerja dan bersedia membayar pajak yang dibanding negara-negara lain ya cukup tinggi juga,” ucap Evita yang bekerja sebagai konsultan BtoB dan pendiri LSM Nusantara.ry pada 2003.
“Namun kami dengan senang membayar pajak, karena kita juga yang menikmatinya sampai hari tua.”
Manfaat dari uang pajak pun turut dirasakan pengangguran di Finlandia.
Desiree Luhulima (64) WNI yang sudah 23 tahun tinggal di Finlandia menyampaikan, pengangguran mendapat tunjangan yang diambil dari uang pajak.
Besarnya tunjangan pengangguran berkisar antara 650-800 euro (Rp 11-13,65 juta) per bulan.
Namun, pengangguran harus aktif belajar atau mencari pekerjaan dari uang itu, tidak boleh hanya berleha-leha.
“Kamu harus aktif mencari sekolah yang kamu mau atau melamar pekerjaan. Subsidi silang lah istilahnya,” tutur Desiree yang bekerja sebagai guru bahasa Indonesia untuk anak-anak.
Ternyata Masyarakat Rawan Depresi
Meski Finlandia negara paling bahagia di dunia, bukan berarti negara Skandinavia ini tanpa noda.
Masalah yang terus menerpa tiap tahun adalah depresi akibat musim dingin berkepanjangan.
“(Siang) hari terpendek di Helsinki itu sekitar 5-6 jam daylight, itu juga kadang mendung seharian,” ungkap Aji seraya menambahkan jika musim panas matahari bisa bersinar sampai 19 jam.
Senada dengan Aji, Desiree pun menceritakan pengalaman serupa.
“Di sini yang membuat depresi adalah ketika winter (musim dingin) itu hampir tidak ada matahari. Matahari kelihatan dari jam 10, terbenamnya jam 1 jam 2.”
“Tapi kalau summer (musim panas) enggak ada malamnya.”
“Yang gelap itu mampu membuat depresi, mereka kadang-kadang minum, dan kalau minum anaknya terbengkalai, anaknya diambil oleh negara, dicarikan foster parents (orangtua asuh).”
Di Finlandia, negara berhak mengambil hak asuh anak jika orangtuanya dianggap lalai atau tidak layak mengasuh. (*)